loading...
Rasa percaya diri itu membuat kita bisa mengenali diri secara akurat dan menyenangkan. Tapi apa yang menghalangi kita untuk melakukannya?
Yaitu, semua pemikiran negatif yang mengelilingi dan menutupi inti diri, sama seperti awan mendung yang menutupi langit. Dan Cognitive therapy (CT) adalah sebuah cabang dari psychologi yang membantu orang-orang untuk mengenali, menantang lalu mengubah pemikiran-pemikiran negatif seperti ini.
Metode yang telah diteliti dengan intensif ini dianggap sebagai sarana utama untuk mengatasi masalah depresi, kecemasan dan amarah. Karena rasa percaya diri itu sangat berhubungan dengan kondisi ini, CT juga dianggap sangat bermanfaat untuk membangun rasa percaya diri.
Aaron Beck, MD dan Albert Ellis, Ph.D., mengembangkan metode yang serupa, untuk membantu orang-orang mengubah pola pikir mereka. Metode ini digambarkan sebagai cara pikiran mempengaruhi perasaan kita, yaitu:
Kesengsaraan ———> Pemikiran ———> Perasaaan
Kesengsaraan mewaliki berbagai kejadian atau situasi yang menyusahkan. Misalnya, katakanlah Budi dan Wati dibesarkan oleh seorang ayah yang sangat kejam.
Dalam merespon kekejaman (penderitaan) tersebut, Budi berpikir, "Aku diperlakukan seperti sampah. Berarti aku ini sampah." Akibatnya, dia merasa depresi dan membenci dirinya (perasaan).
Sedangkan Wati merespon penderitaan yang sama dengan pola pikir yang berbeda. Dia mengatakan pada dirinya, "Ayah mungkin telah memperlakukan aku seperti sampah, tapi aku bukanlah sampah."
Wati juga merasa kesal dengan perlakuan ayahnya, tapi dia tetap menjaga rasa percaya diri dan optimisme nya. Pengaruh apa yang akan diberikan oleh suatu kejadian yang mengesalkan atau mengganggu itu tergantung dari pemikiran yang kita pilih.
CT menunjukkan bahwa berbagai pemikiran yang mempengaruhi perasaan kita itu masuk ke dalam pikiran dengan begitu cepat, sehingga kita sulit untuk menyadarinya, apalagi mencegahnya, untuk dianalisa kebenarannya.
Dr. Beck menyebutnya sebagai automatic thoughts (ATs). ATs adalah pemikiran-pemikiran negatif tidak beralasan yang bersifat menghakimi, tidak baik dan tidak akurat, hingga membuat kita merasa tidak puas dan tidak nyaman terhadap diri sendiri, yang disebut distorsi (penyimpangan.)
CT berasumsi bahwa setiap orang itu sebenarnya sangat mampu untuk berpikir logis. Tapi karena kita tidak sempurna, membuat kita mungkin menarik kesimpulan keliru dari data yang salah yang kita terima.
Misalnya, coba pertimbangkan apa yang akan dipikirkan oleh anak-anak mengenai dari mana bayi berasal, saat mereka belum mengetahui semua faktanya. Mereka mungkin akan berasumsi bahwa burung bangau atau rumah sakit yang membagikannya, atau mereka tumbuh di dalam perut ibunya.
Pemikiran mereka jadi semakin logis saat mereka sudah mendapatkan semua faktanya. Dalam contoh diatas, Budi menganggap perlakuan ayahnya sebagai pesan bahwa dirinya tidak berharga, bukan karena pesan itu benar, melainkan karena dia tidak menganalisa kebenaran dari pesan tersebut.
CT menegaskan bahwa setiap orang bisa segera tahu cara untuk mengenali pola pemikiran mereka, menganalisanya, lalu mengganti pemikiran yang keliru dengan yang lebih logis, secara efektif. Saat melakukan itu, mereka jadi lebih mampu mengontrol pikiran dan perasaannya.
Pola pemikiran kita, baik ataupun buruk, itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor, misalnya berbagai kejadian yang kita alami. Sehingga, seseorang yang mendapat perlakukan kejam secara seksual atau fisik, mungkin akan berpikir, "Aku telah diperlakukan sebagai objek, berarti aku ini objek."
Lingkungan sosial seseorang, termasuk media massa, teman-teman dan keluarga, juga bisa mempengaruhi apa yang biasa kita pikirkan. Misalnya, seorang ayah mungkin akan memeluk putrinya yang telah diperkosa lalu mengatakan, "Itu bukan salah mu."
Tapi apa yang akan dipikirkan oleh sang anak jika dia lebih memilih untuk menilai dirinya dan mempertanyakan motifnya. Begitu juga rasa percaya diri dan perasaan para tentara bisa dipengaruhi oleh dukungan yang mereka terima setelah kembali dari berperang.
Kondisi fisik, tingkat kesehatan, kebugaran dan pengkondisian yang kita alami, juga bisa mempengaruhi kemampuan kita untuk berpikir dengan jernih. Terakhir, kemampuan kita untuk mengatasi dan pola tingkah laku kita juga bisa mempengaruhi pikiran kita.
Meski berbagai kejadian bisa mempengaruhi pikiran kita, tapi asumsi dasar dari CT adalah bahwa pada akhirnya kita sendirilah yang paling bertanggung jawab terhadap pemikiran yang kita pilih.
Kita tidak selalu bisa mengontrol cara orang lain memperlakukan kita. Tapi kita sangat bebas untuk mengontrol pikiran kita. Asumsi ini tidak berarti bahwa CT menyalahkan orang-orang karena merasa rendah diri.
Melainkan, memperkuat keyakinan kita untuk menyadari bahwa sebenarnya, kita mampu membentuk berbagai pemikiran yang mempengaruhi rasa percaya diri, dan menghindari kecenderungan menyalahkan orang lain atas perasaan kita sendiri.
Pemikiran yang Menyimpang
Jadi, mari kita mengeksplore jenis-jenis pemikiran dasar yang menyimpang, dan cara mengubahnya. Karena semua itu hanyalah sejumlah penyimpangan, berarti anda bisa mempelajari dan menggantinya, sehingga terhindar untuk masuk dalam perangkap yang sama.
Dengan latihan, anda bisa belajar mengganti berbagai pemikiran yang menyimpang ini dengan cepat, dan tanpa perlu banyak usaha, karena kemampuan ini seringkali akan dibutuhkan saat menghadapi situasi yang menegangkan.
1. Pemikiran Semua atau Tidak Sama Sekali
Pemikiran ini adalah saat anda percaya bahwa diri anda sempurna, atau mendekati standard kesempurnaan. Jika anda gagal "menyingkirkan penghalang," maka anda akan menyimpulkan bahwa diri anda tidak berharga. Tidak ada yang namanya titik tengah atau separuh sukses atas usaha.
Sebagai contoh, seorang siswa yang cemerlang dan disukai, pernah mengatakan bahwa dia sangat kesulitan untuk menyelesaikan tugas menulis kreatif. Prospek untuk mendapat nilai kurang dari A, membuatnya merasa depresi dan ingin bunuh diri.
Akhirnya, dia menemukan penyimpangan tersebut: "Dalam kebudayaan ku, jika anda tidak mencapai target, berarti anda tidak layak untuk hidup," katanya. Lalu dia ditanya, "Dimana tertulis bahwa seseorang yang tidak sempurna itu tidak berharga?"
Dia berpikir sesaat lalu mengatakan, "Ini pertama kalinya ada orang yang mengatakan pada ku bahwa aku tidak harus menjadi sempurna agar bisa merasa berharga."
Orang lain mungkin mempertanyakan nilai dirinya saat mereka gagal untuk mencapai tingkat penghasilan tertentu, kalah dalam suatu perdebatan, atau melakukan suatu kekeliruan.
Jika anda harus menghakimi, cobalah untuk hanya menghakimi kinerjanya, bukan inti diri anda. Anda mungkin berpikir, "Aku berhasil mendapat nilai 60 untuk tugas ini. Itu sudah cukup bagus. Lain kali, aku akan mencoba dengan cara yang sedikit berbeda."
2. Melabeli
Pernahkah anda memperhatikan bagaimana orang-orang seringkali melabeli dirinya sendiri dengan kasar, misalnya, "Aku bodoh." "Aku ini pecundang." "Aku membosankan." "Mengapa aku begitu bodoh?"
Perhatikan bahwa pernyataan terakhir itu sebenarnya bukanlah pertanyaan, melainkan ekspresi kekesalan. Orang-orang yang menggunakan ekspresi seperti itu sepertinya akan lebih mudah menjadi depresi, karena mereka membuat dirinya terus menerus berada dalam perasaan terhambat dan tidak berdaya.
Anda mungkin bertanya-tanya apakah penghakiman yang tidak baik seperti itu benar-benar bisa berfungsi sebagai motivator sama seperti dorongan. Tapi disisi lain, anda mungkin berpikir, "Seorang pecundang tidak akan pernah menang, jadi kenapa mencoba?"
Berikut ini kenapa sebuah label negatif itu tidak beralasan. Saat anda mengatakan, "Aku bodoh (atau tolol, atau membosankan)," itu sama artinya anda mengatakan bahwa diri anda itu selalu bodoh setiap saat dan dalam setiap situasi. Padahal ini jelas-jelas tidak benar.
Howard Gardner dari Harvard, misalnya, mengatakan bahwa ada banyak cara untuk menunjukkan kecerdasan. Sebagian orang menunjukkannya lewat skill matematika atau lisan. Sebagian lain menunjukkannya lewat skill personal (kecerdasan emosional), interprosonal, musik, seni atau tubuh (atletik atau menari).
Jadi apa penawar untuk pelabelan negatif seperti ini?
Sekali lagi, jika anda memang harus menghakimi, hakimilah hanya tingkah lakunya (katakan misalnya, "Kali ini aku belum bisa melakukannya dengan baik.) Inti diri itu begitu kompleks untuk bisa digambarkan hanya dengan sebuah label yang simpel.
3. Terlalu Menggeneralisir
Coba tanyakan pada orang yang pesimis atau rendah diri kenapa dia bertengkar dengan pasangannya, maka sepertinya dia akan mengatakan sesuatu misalnya, "Aku selalu tidak bisa menahan diri" (memberikan dirinya sebuah label).
Sepertinya, dia akan memperparah keadaan dengan berpikir, "Aku selalu mengacaukan hubungan ku. Aku tidak pernah bisa mempertahankannya." Akan lebih tepat dan tidak menghakimi jika dia berpikir, "Aku (atau mungkin kami) belum belajar cara mendiskusikan topik ini dengan tenang."
Selain menggunakan kata "selalu" dan "tidak pernah," orang yang terlalu menggeneralisir itu juga cenderung menggunakan kata-kata misalnya, "tidak ada orang" atau "semua orang."
Rodney Dangerfield bercanda bahwa psychiaternya pernah berkata, "Jangan konyol. Semua orang tidak membenci mu. Semua orang tidak mengenal mu."
Penawar untuk terlalu menggeneralisir itu adalah menggunakan kata "sebagian." Biasanya akan lebih akurat untuk berpikir, "Terkadang aku melakukannya dengan cukup baik. Sebagian orang menyukai ku, setidaknya itu yang aku rasakan."
4. Berasumsi
"Ya," anda mungkin berpikir, "tapi aku tahu bahwa pelayan itu tidak menyukai ku. Lihat cara dia memperlakukan ku." Ini mungkin penyimpangan yang dikenal sebagai membaca pikiran.
Pelayan itu mungkin atau mungkin juga tidak membenci anda. Dia hanya sedang kesal mengenai sesuatu yang terjadi padanya 20 menit atau 20 tahun yang lalu. Dia mungkin merasa terganggu pada sesuatu yang anda lakukan, atau dia mungkin memang tidak menyukai anda.
Jadi, dia tidak menyukai anda itu hanyalah salah satu kemungkinan. Anda tidak akan tahu apakah dia memang merasa seperti itu, kecuali anda menanyakannya.
Dalam contoh lain, katakanlah anda diundang oleh tetangga anda untuk menghadiri suatu pesta. Anda mungkin berasumsi bahwa jika anda menghadirinya maka semua orang pasti tidak menyukai anda dan anda akan mendapatkan pengalaman yang sangat menyakitkan.
Ini bisa jadi adalah suatu penyimpangan yang dikenal sebagai peramal atau memprediksi masa depan. Padahal, sebagian orang mungkin menyukai anda, sebagian tidak menyukai anda, dan sebagian bahkan tidak mengenal anda.
Anda bisa menghadiri pesta tersebut dengan sebuah pikiran yang terbuka dan hanya mengamati apa yang terjadi. Maka terkadang, sesuatu yang baik juga akan terjadi.
5. Merasionalkan Emosi
Apakah anda bisa mengingat seorang guru yang "membuat anda" merasa bodoh? Saat menghadapi sebuah situasi baru dan menantang, apakah anda masih tetap merasa tidak mampu hingga berpikir bahwa anda memang benar-benar tidak mampu?
Atau mungkin anda pernah membuat keputusan yang kurang bijak dan merasa sangat malu sehingga anda menyimpulkan bahwa diri anda tidak berharga. Secara otomatis menyamakan antara perasaan dengan realitas itu disebut merasionalkan emosi.
Kita bisa terbuka untuk dan menerima berbagai perasaan, tapi kita juga perlu menyadari bahwa perasaan itu tidak selalu mewakili realitas. Ingatkan diri anda bahwa perasaan negatif itu adalah sinyal-sinyal dari kekesalan, bukan pernyataan fakta.
Tantang pemikiran-pemikiran seperti itu. Dengan menanyakan, "Seperti apa orang yang 100 persen tidak mampu, tidak berharga atau jahat itu?" akan membantu anda untuk menghindari pemikiran semua atau tidak sama sekali.
6. Menggali yang Negatif
Katakanlah anda punya sebuah kebun yang cantik. Tapi ada satu tanaman yang tidak tumbuh dengan baik, sehingga anda memfokuskan pada tanaman tersebut secara eksklusif. Tidak lama kemudian anda akan lupa untuk memperhatikan tanaman-tanaman cantik lainnya.
Begitu juga, anda mungkin menggali berbagai kesalahan atau rintangan hingga ke titik yang menghancurkan rasa percaya diri, atau bahkan hidup anda. Anda mungkin gagal untuk memperhitungkan semua kebaikan yang sudah ada, semua kebaikan yang pernah anda lakukan.
Saat menatap diri di cermin, apakah anda hanya memperhatikan apa yang salah? Atau anda memperhatikan apa yang benar, misalnya penampilan anda secara keseluruhan, senyum anda, dan lain-lain?
Saat menemukan diri sedang menggali apa yang salah pada diri atau kehidupan anda, maka anda mungkin berpikir, "Oke, mungkin ini sesuatu yang perlu diperbaiki. Sementara itu, apa lagi yang sedang terjadi? Hal baik apa yang bisa aku perhatikan? Apa yang akan diperhatikan oleh seorang teman selain kesalahan ku?"
Seorang pria pernah bercanda dengan tetangganya, "Mengapa anda begitu bahagia? Sedangkan hidup anda sama susahnya seperti saya." Mungkin, orang yang bahagia tersebut mau menyediakan waktu untuk memandang lebih jauh ke depan dan menghargai apa yang salah.
7. Menolak yang Positif
Saat menggali yang negatif dan mengabaikan yang positif, penyimpangan ini akan benar-benar meniadakan yang positif. Bayangkan jika seseorang memuji anda atas sesuatu yang anda lakukan. Tapi anda malah berkata, "Ah, itu bukan apa-apa."
Padahal, bukankah akan jauh lebih memuaskan jika anda berterima kasih pada orang tersebut dan berpikir, "Aku benar-benar senang karena sudah melakukan sesuatu yang membuat orang senang." Dengan begitu, berarti anda telah memvalidasi pujian dari orang tersebut dan diri sendiri.
8. Membuat Perbandingan yang Tidak Menguntungkan
Betapa memuaskan jika kita bisa mengembangkan diri, menginvestasikan bakat, dan mencapai semua target yang berhubungan dengan hobi, pendidikan, profesi, rekreasi, kegiatan amal atau hubungan.
Contoh yang diberikan oleh orang yang kita kagumi dan hormati itu bisa menginspirasi kita dan mensugestikan apa yang mungkin.
Namun, masalah muncul saat kita mulai membandingkan diri dengan orang lain. Hingga inspirasi berubah menjadi penghakiman: "Aku tidak sepintar si Anu." "Sandra lebih ahli dibanding aku." "Johan jauh lebih populer dibanding aku."
"Aku berharap bisa sesukses Randi, dia adalah seorang menejer yang cemerlang sedangkan aku cuma seorang salesman." Dalam setiap kasus, kita jadi merendahkan diri, hingga rasa percaya diri kita rusak.
Penawar untuk penyimpangan ini hanyalah dengan berhenti membandingkan dan mengakui bahwa setiap orang itu berkontribusi dalam berbagai cara yang unik menurut keunikan diri kita masing-masing.
Orang sering bertanya, "Siapa yang lebih penting, ahli bedah atau dokter umum?" Kita mungkin akan menjawab, "Ahli bedah mungkin bisa mengatasi sebuah krisis yang akut, tapi dokter umum mungkin bisa mencegah hal itu agar tidak terjadi."
"Siapa yang lebih berharga, seorang ahli bedah atau therapy fisik?" tanya mereka. "Ahli bedah mungkin bisa menyelamatkan nyawa, tapi ahli therapy mungkin bisa membantu mengembalikan fungsi fisik dan harapan," jawab saya.
Saat kita memperkirakan siapa yang lebih penting bagi kesehatan negara, apakah para dokter atau tukang sapu, maka kita akhirnya akan menyadari bahwa orang-orang berkontribusi dalam cara yang berbeda. Jadi, mengapa kita harus membandingkan?
Saat kita merenung dan melihat gambarannya secara utuh, maka kita mulai menyadari bahwa setiap orang itu punya kelebihan dan kekurang masing-masing. Juga, saat kita membandingkan diri dengan orang-orang sukses, kita bisa mengingat bahwa setiap orang, bahkan para ahli sekalipun, punya kelemahan dibidang tertentu.
9. Semestinya, Sebaiknya dan Harus
Pernyataan "harus" itu adalah perfeksionis, tuntutan kaku yang kita buat terhadap diri sendiri, mungkin dengan harapan bahwa tuntutan seperti itu akan membantu kita untuk mengatasi ketidak nyamanan dari menjadi tidak sempurna.
Contohnya antara lain: "Aku seharusnya tidak boleh membuat kesalahan," "Aku harus tahu yang lebih baik," "Aku harus menjadi lebih baik," "Aku harus sukses," dan "Aku harus menjadi boss (pasangan atau anak) yang sempurna." Ada sifat menghukum, mencaci dari semua tuntutan ini.
Meski kita berharap bahwa tuntuan ini akan memotivasi kita untuk melakukan yang lebih baik, tapi biasanya itu malah membuat kita semakin parah. Sebagai contoh, apa yang akan anda rasakan saat mengatakan pada diri sendiri bahwa anda harus melakukan sesuatu dengan sempurna, tapi ternyata tidak?
Faktanya, penilitian menunjukkan bahwa kita cenderung melakukan lebih baik saat kita berjuang untuk melakukan pekerjaan dengan baik, bukan dengan sempurna, karena kita tidak menjadi tegang saat hanya mencoba untuk melakukan dengan baik.
Apa maknanya jika anda tidak bisa mencapai dengan sempurna, apa yang anda anggap seharusnya atau semestinya bisa anda capai dengan sempurna? Apa itu berarti bahwa diri anda tidak berharga, atau hanya tidak sempurna?
Mungkin, satu-satunya "harus" yang beralasan itu dengan mengatakan pada diri kita bahwa kita harus menjadi seperti ada adanya, menurut latar belakang, pengalaman, tingkat skill dan pemahanan kita yang tidak sempurna.
Sebagian orang mengatakan bahwa cara yang lebih baik dan efektif untuk memotivasi orang itu adalah dengan mengganti pernyataan tuntutan menjadi "mau," "bisa," "ingin," "memilih" dan "lebih suka."
Jadi, dari pada mengatakan, "Aku harus," "Aku sebaiknya," atau "Aku semestinya," lebih baik katakan, "Aku ingin meningkat" "Aku memilih untuk bekerja keras," "Aku sangat ingin memenangkan kompetisi," "Aku ingin menjadi orang tua yang bijak," atau "Aku mau mencapai target tersebut."
Jadi berhati-hatilah, meski pernyataan "harus" itu bisa sangat sulit untuk dilepaskan. Seringkali akan membantu dengan menyadari bahwa saat kita tidak lagi menggunakan kata "harus," itu bukan berarti kita tidak lagi menghargai nilainya, misalnya bekerja keras atau menjadi yang terbaik.
Itu hanya membebaskan kita untuk mencapai target dalam sebuah cara yang lebih menyenangkan, kurang menghakimi dan semoga, lebih efektif.
10. Mendramatisir
Saat mendramatisir, kita memandang sesuatu yang tidak nyaman (misalnya malu atau takut gagal) sebagai sesuatu yang tidak bisa dima'afkan, ditoleransi dan sangat mengerikan.
Kita mungkin jadi berpikir, misalnya, "Aku tidak akan pernah berpidato lagi. Aku mungkin gugup dan menjadi bahan tertawaan. Itu sangat mengerikan" atau "Pasti sangat memalukan jika aku nanti ditolak," atau "Aku sungguh tidak tahan saat boss ku mengkritik aku."
Pernyataan seperti itu akan meningkatkan rasa takut dan merusak keyakinan diri. Kita mungkin jadi semakin tegang hingga melakukan dibawah yang kita mampu. Kita mungkin bahkan jadi menghindari situasi yang menantang, hingga kehilangan kesempatan untuk mengalahkan rasa takut dan meningkatkan rasa percaya diri.
Mendramatisir seringkali dimulai dengan rasa takut terhadap kemungkinan, misalnya "aku mungkin gagal," yang mengarah pada suatu kesimpulan negatif, "Aku mungkin gagal; Aku akan membuat orang jadi marah dan kecewa,", akibatnya kita jadi mengharapkan yang terburuk "Ini akan menjadi sesuatu yang sangat mengerikan."
Pada kenyataanya, saat kita berhenti mendramatisir, kita menjadi lebih tenang dan bisa berpikir dengan lebih jelas. Kita jadi sadar bahwa kita sebenarnya sanggup menanggung derita, meski itu tidak harus menyenangkan atau nyaman.
Mendramatisir bisa ditantang dengan berpikir, "Oke, aku tidak menyukai ini, tapi aku sanggup menghadapinya," "Itu bisa jadi lebih buruk. Itu tidak akan membunuh ku. Aku bisa melewatinya," atau "Aku sebenarnya bisa mengatasi ini."
Dengan berpikir seperti ini, kita bisa belajar untuk menghadapi apa yang kita takuti, dengan penuh ketenangan dan sikap menerima, bukannya melarikan diri. Saat melakukannya, keyakinan diri kita semakin bertambah.
11. Personalisasi
Personalisasi adalah pemikiran bahwa anda lebih bertanggung jawab atau terlibat dibanding fakta yang ada. Misalnya, korban perkosaan biasanya berpikir bahwa kejadian itu adalah salahnya sendiri, dan bukan salah si pelaku.
Atau seorang pria mungkin akan bertanya pada dirinya apa yang telah dia lakukan sehingga dia layak di damprat oleh istrinya, karena tidak menyadari bahwa saat itu istrinya sedang marah pada dunia.
Personalisasi adalah sebuah percobaan untuk mendapatkan kontrol lebih dari apa yang sebenarnya kita miliki. Ironisnya, percobaan ini jadi bumerang, karena realitas mengingatkan kita bahwa kita memiliki kontrol yang lebih sedikit dibanding yang kita mau.
Kita tidak membuat orang lain melakukan apa yang mereka lakukan, dan kita tidak selalu bisa mencegah orang lain untuk tidak merasa kecewa. Solusinya adalah dengan bertanya, "Mengapa dia bertindak seperti itu? Apakah mungkin itu sebenarnya bukan karena aku?"
12. Menyalahkan
Saat personalisasi membuat kita memikul tanggung jawab yang terlalu banyak, maka kita akan menyerahkan tanggung jawab tersebut pada orang lain.
Sebagai contoh, kita mungkin mengatakan, "Aku menyalahkan orang tua ku karena kecanduan ku; mereka lah yang membuat ku jadi begini," atau "Aku merasa minder karena pacar ku meninggalkan aku."
Semakin kita menghindari tanggung jawab atas kesejahteraan diri sendiri, semakin kita merasa tidak berdaya dan putus asa. Jadi, akan lebih baik jika kita berpikir, "Ya, situasi ini memang sulit. Sekarang aku mengambil tanggung jawab untuk mengubah masa depan.
Memisahkan
Dalam bukunya yang brillian mengenai therapy penerimaan dan komitmen, Get Out of Your Mind and Into Your Life, Steven C. Hayes, Ph.D., menegaskan bahwa hampir semua orang itu menderita suatu bentuk rasa sakit batin yang intens, pada suatu masa dalam kehidupannya.
Penderitaan ini mungkin berbentuk depresi, kecemasan, penyalahgunaan, membenci diri dan berniat bunuh diri, yang semuanya berasal dari peperangan kita melawan pemikiran-pemikiran kita sendiri, saat kita berusaha keras mencoba untuk menyingkirkan masa lalu, tapi ternyata sia-sia.
Mari kita kembali ke contoh seorang guru (atau orang lain) yang membuat kita merasa dungu. Setahun kemudian, penderitaan ini bisa dihindari hanya dengan menjauhi sang guru (dan mungkin subjeknya, misalnya matematika). Namun, pikiran kita tidak mau membiarkan itu berakhir sampai disana.
Dia kembali menyerang dengan berpikir, "Bagaimana jika ternyata aku memang dungu? Aku benci merasa dungu. Jika aku mencoba cukup keras, aku tidak akan menjadi dungu. Aku harus berhenti berpikir bahwa aku dungu. Jika aku benar-benar mencoba, aku tidak akan lagi berpikir bahwa aku dungu."
Seolah-olah ini adalah sebuah peperangan yang berkecamuk di dalam pikiran, sebuah perang yang tidak akan pernah berakhir saat kita terjebak ke dalam pergolakan di masa lalu.
Hayes menyebut proses ini fusion (peleburan). Kita berjuang begitu lama untuk melawan pemikiran negatif, yang kita asumsikan sebagai kebenaran, hingga akhirnya kita menjadi identik dengan pemikiran tersebut.
Pikiran biasanya efektif dalam menyingkirkan masalah yang berasal dari luar, misalnya atap yang bocor. Tapi, semakin kita mencoba untuk menyingkirkan masalah yang ada di dalam (misalnya, memikirkan masa lalu), semakin melebur kita dengan masa lalu.
Kita tidak mampu menyingkirkan kejadian di masa lalu. Dan, semakin keras kita mencoba untuk tidak memikirkannya, semakin sering kita akan memikirkannya, merasakan kembali penderitannya, dan bahkan menjadi semakin menderita.
Anda bisa menguji ide ini. Pertama, untuk sesaat, pikirkan tentang seekor gajah putih. Sekarang, singkirkan gambaran tersebut dan cobalah untuk sama sekali tidak memikirkan tentang gajah putih. Hitung berapa kali anda benar-benar memikirkan gajah putih.
Tentu, anda jadi sering memikirkan gajah putih, meski sudah berusaha menyingkirkan ide tersebut. Begitu juga saat kita menghilangkan rasa sakit dengan cara menghindar, misalnya menggunakan obat-obatan, berbelanja, menonton tivi, bekerja, dan lain-lain.
Semua itu hanya bersifat temporer, lalu rasa sakit akan kembali dengan lebih kuat. Semakin sering kita mencoba untuk membebaskan diri dari rasa sakit dengan cara mematikan perasaan kita, semakin berkuang kemampuan kita untuk menikmati dan melibatkan diri dalam kehidupan.
Jadi, metode yang berbeda, yaitu memisahkan, bisa membantu. Tujuannya adalah menghadapi masa lalu yang menyakitkan tanpa mengaitkan diri atau menolaknya, melainkan dengan menerimanya secara penuh, kasih sayang dan kedamaian hati.
Menerima secara penuh tidak berarti mengatakan, "Oke, aku akan melakukan latihan ini dengan cepat supaya bisa segera menyingkirkan rasa sakit ku." Menerima artinya memilih untuk membiarkan rasa sakit itu dengan sebuah sikap yang terbuka, tidak memihak dan iklash.
Lalu, kita bisa berkomitmen untuk menjalani hidup secara penuh, menanggung derita apapun yang tersisa dengan sikap menerima secara penuh. Kita masih tetap memiliki pemikiran itu, tapi kita hanya mengawasinya dari kejauhan tanpa terjebak ke dalamnya.
Itu seolah-olah perang masih terus berkecamuk, tapi kita menjauhkan diri dari medan peperangan, dan hanya mengawasinya dari tempat yang jauh. Hayes menganjurkan beberapa strategi pemisahan berikut ini.
Latihan: Identifikasi Sumber Rasa Sakit
- Buat daftar beberapa situasi dari masa lalu yang mungkin telah menyakiti rasa percaya diri anda. Mungkin saat anda merasa malu, ditolak, dipermalukan, diremehkan, dizalimi atau dipermainkan. Atau mungkin saat anda membuat keputusan yang buruk atau hilang ketenangan. Selain memiliki pemikiran yang menyakitkan mengenai situasi ini, anda mungkin juga mengalami perasaan, ingatan, gambaran dan atau sensasi yang menyakitkan, saat anda memikirkan tentang hal itu. Anda cuma perlu menyadari reaksi ini.
- Lalu, tuliskan berapa lama situasi ini telah mengganggu anda.
- Terakhir, dari pada mencoba menghilangkan masalah ini, biarkan dia masuk ke dalam kesadaran anda dengan sikap lembut dan terbuka. Anda mungkin bisa berkata, "Semua ini hanyalah ingatan, tidak lebih."
Latihan: Susu, Susu, Susu
- Untuk beberapa saat, bayangkan dan rasakan susu di dalam kepala anda (bagaimana itu terlihat, tersentuh dan terasa.) Anda mungkin merasakan susu tersebut berwarna putih, dingin dan creamy.
- Sekarang, ucapkan kata "susu" keras-keras dan ulangi beberapa kali sebanyak yang anda bisa dalam 45 detik. Lalu perhatikan apa yang terjadi. Orang-orang sering mengalami perubahan pengalaman. Makna menjauh dari kata-kata, dan kata-kata hanya menjadi suara.
- Sekarang, pilih sebuah pemikiran negatif mengenai diri sendiri yang anda hubungkan dengan sebuah situasi yang menyakitkan. Mungkin pemikiran yang mengkritik dan mengasari diri sendiri. Tempatkan pemikiran itu ke dalam satu kata, misalnya, "jahat," "pecundang," "bodoh," atau "naif."
- Skalakan dari 1 sampai 10 mengenai seberapa menyakitkan kata itu. Lalu beri rating seberapa tinggi itu bisa dipercayai.
- Sambut kata tersebut dan semua aspek lain untuk masuk ke dalam kesadaran anda dengan rasa menerima secara penuh.
- Ucapkan dan ulangi kata tersebut sebanyak yang anda bisa dalam 45 detik.
Sekarang, rating lagi seberapa menyakitkan kata itu. Apakah level nya berkurang? Mungkin kata itu sudah kehilangan beberapa efek emosionalnya, dan sekarang itu tidak lebih dari sekedar sebuah kata.
Latihan: Buat Sebuah Jurnal
Pertimbangkan penelitian yang mendukung manfaat dari menuliskan situasi yang menyakitkan ke dalam jurnal selama 15 - 30 menit per hari.
Jelaskan di dalam tulisan fakta-fakta mengenai kejadian di masa lalu yang menyakitkan, terutama jika anda belum pernah mengungkapkannya itu kepada siapapun.
Sebagai contoh, anda mungkin bisa menulis, "Ibu berteriak dengan keras pada ku saat aku memecahkan piring." Lalu, tuliskan hubungan antara pemikiran tersebut dengan perasaan yang ditimbulkannya.
Misalnya, "Itu sepertinya tidak adil bahwa ibu telah menghakimi ku. Aku tidak sanggup menanggungnya. Aku merasa begitu sedih dan tidak berharga. Aku menyesal karena telah mengecewakannya. Aku merasa gugup dan kikuk. Aku mulai merasa bahwa aku tidak cukup mampu saat aku melakukan kesalahan."
Setelah menulis jurnal seperti ini selama beberapa hari, orang biasanya mulai merasakan peningkatan dalam mood. Mereka mendapatkan rasa pemisahan dan objektivitas, dan sebuah perasaan bahwa mereka bisa memahami dengan lebih baik mengenai kejadian yang menyakitkan tersebut.
Latihan: Bawa itu Bersama Anda
Tuliskan semua hal yang terjadi di dalam kepala anda. Gambarkan sebuah kepala yang besar, lalu tuliskan semua pemikiran dan perasaan negatif yang anda bawa. Alternatifnya, anda bisa membuat ringkasan dalam bentuk tulisan mengenai apa yang anda temukan melalui dua latihan diatas.
Lalu, bawa ringkasan ini bersama anda di dalam kantong untuk beberapa hari sebagai simbol yang mengingatkan bahwa anda mampu menanggung ingatan dari masa lalu dan membawanya dalam hidup anda.
loading...
0 Response to "CARA MEMBENTUK KEPRIBADIAN DIRI"
Posting Komentar